Thursday 19 March 2015

Puncak Pato Saksi Sumpah Sakti Marapalam



Mungkin dari  Sobat Indonesia Travelers ada yang pernah membaca atau mendengar tentang sejarah perang Padri. Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. hanya mengingatkan saja jika lupa dengan Padri mungkin ingat dengan Tuan ku Imam Bonjol.

Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama islam yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriakat mengenai warisan (sebagai informasi dari apa yang penulis ketahui bahwasanya etnis Minang adalah satu-satunya di Indonesia yang menganut system matriakat atau mengambil garis keturunan dari pihak ibu), serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.

Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.

Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik pada saat itu.

Sobat Indonesia Travelers, Kita tidak akan menceritakan perang Padri lebih jauh lagi. Yang ingin penulis bagikan di sini adalah ada sebuah situs yang menjadi saksi sumpah sakti yang menjadi ending dari peperangan panjang tersebut. Ya…Sumpah Sakti Puncak Marapalam. Sumpah tersebut berbunyi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” – Adat Bersendikan Syariat, Syariat Bersendikan Kitabullah.


Mari melangkahkan kaki ke Puncak Pato….

Lokasi Puncak Pato menurut sejarah Minangkabau dikenal sebagai Bukik Mara­palam, yang dikenal adanya pencetusan Sumpah Sati Bukik Marapalam, pertentangan antara Kaum Adat dan Kaum Agama, di lokasi ini didapat kata sepakat, bahwa antara adat dan agama bukanlah suatu hal yang dipertentangkan, dan tercetuslah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Puncak Pato terletak di nagari Batu Bulek Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Again….Kabupaten dimana dimana penulis dibesarkan dengan kearifan local yang mengedepankan kereligiusan agama Islam dalam keseharian masyarakatnya. Lebih kurang 17 kilometer sebelah timur kota Batusangkar. 

Lokasi Bukik Marapalam (Puncak Pato)  kini sudah dikemas menjadi suatu lokasi tujuan wisata yang dapat dikunjungi oleh para wisatawan yang datang ke Tanah Datar. Objek wisata Puncak Pato menyuguhkan pemandangan alam yang cukup indah, bila melayangkan pandangan ke arah barat, terbentang hamparan rumah penduduk  wilayah Kecamatan Sungayang, eits…Sungayang…?? Itu kan persis dimana penulis yang keren ini dilahirkan.. :-) 


Dari Puncak Pato wisatawan bisa melihat dengan leluasa pemandangan di bawahnya. Gemah Ripah Loh Jinawi kata yang tepat untuk menggambarkan Kecamatan Sungayang hingga pemandangan ke kaki gunung merapi; yang artinya kurang lebih tentram, makmur dan subur. Bagaimana tidak, di sepanjang jalan wisatawan mendapati hamparan sawah penduduk yang luas berjenjang dengan padinya yang mulai menguning pertanda siap dipanen. Tanah di daerah tersebut terlihat cukup subur dengan banyaknya air yang melimpah, membuat udara di kawasan tersebut cukup segar dan dingin. Selain sawah, ladang tebu dan pohon kulit manis banyak ditemukan di daerah ini. Pemandangan lebih eksotis manakala mata menuju atap-atap kawasan "Rumah Gadang" (Rumah tradisional minangkabau) yang masih tetap dilestarikan dan sudah langka ditemukan di ranah Minang (mmm...Ga terlalu yakin sih).
 
Selain itu juga banyak terdapat pohon aren, nah asyykkkk....nya di sela-sela pohon anau / aren ini kelihatan hamparan lahan kebun tebu. Para petani di sekitar lokasi Puncak Pato juga mengolah tebu menjadi gulo saka, seperti gula merah nya orang Jawa. Proses pembuatan nya juga masih dilakukan secara tradisional. Untuk memeras air tebu masih mengandalkan tenaga kerbau, pengunjung bisa menyaksikan proses pembuatan gulo saka. Mulai dari pemerasan tebu dengan cara mengilingnya dengan tenaga kerbau, lalu ditampung pada kancah atau belanga. Setelah dimasak secara manual dengan bahan bakar ampas tebu dan selanjutnya dimasukkan ke dalam cetakan. Cetakan gulo saka juga tidak terbuat dari bahan logam dan sejenisnya, akan tetapi cukup dengan sayak atau tempurung kelapa yang telah disiapkan sesuai dengan ketebalan gulo saka yang akan diproduksi.
Proses pembuatan gulo saka di sekitar lokasi Puncak Patu, juga disuguhkan kepada para tamu yang datang, bah­kan kepada para pengunjung juga diberi kesempatan untuk mencobakan sendiri proses pencetakan gulo saka. Kesempatan membaur dengan sejumlah tenaga kerja ayang memproduksi gulo saka secara tradisionil ini, ternyata memberikan keasyikan sendiri dan pengunjung menjadi betah tinggal berlama-lama di lokasi ini.

Usai mencobakan proses pembuatan gulo saka di lokasi Puncak Pato, ketika menuju pulang, pengunjung akan menyaksikan warga Nagari Andaeleh Kecamatan Sungayang memproduksi gulo anau atau gula aren. Setiap waktu sehabis  Zuhur wisatawan yang beruntung akan menyaksikan petani penyadap nira dari pohon anau/aren sudah menyandang periam bambunya menuju pulang. Proses pembuatan gulo anau juga bisa disaksikan secara langsung dari warga Nagari Andaleh. Mulai dari pemanasan tungku, air nira yang sudah mulai kental dimasukkan ke dalam cetakan yang terbuat dari bambu.

Di lokasi ini kita juga bisa mencicipi cita rasa air nira yang asli dan baru saja di sadap dari pohon enau atau aren, air nira ternyata tidak bisa dibeli untuk dibawa pulang, ternyata air nira asli aroma nya akan berubah jika terlalu lama teroksidasi dari udara luar, dan bisa memabukkan bila sudah menjadi tuak.

Saran Penulis : Karena berada di ketinggian dengan suhu yang dingin, Jaket dan sun blok sepertinya menjadi keharusan.

Selamat Menikmati,

Salam Sobat Indonesia Travelers,

Irwan Hermantria





0 comments:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

About Me

My photo
Dear Sobat Netizens, Aku terlahir di sebuah kampung kecil bernama SUNGAYANG yang berada di Sumatera Barat yg identik dengan Suku Minang, Minang memiliki ikon kerajaan berupa Istana Pagaruyung. Tak Jauh dari istana itulah aku dibesarkan dengan kearifan lokal yang sangat kental. Dan aku Bangga sebagai Orang MINANG. Beberapa perjalanan panjangku dalam mengarungi hidup membuat aku tertarik untuk berbagi di dalam blog ini.